Saya harus charge berapa ya?

Ini adalah pertanyaan yang sering saya dengar dari kawan-kawan yang baru hendak berkarir dalam dunia fotografi. Dengan adanya pertanyaan ini tersirat bahwa penanya serius ingin menekuni fotografi sebagai pekerjaan atau profesi.

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, saya akan mengajak anda untuk kembali sejenak untuk memikirkan bagaimana sampai seorang dapat mengutarakan pertanyaan tersebut.
Dengan menentukan fotografi sebagai profesinya, tentu dia telah melakukan segala persiapan yang diperlukan:
1. Minat
Tanpa minat pada fotografi (atau pada bidang apapun yang ingin digelutinya dalam waktu lama!), dia akan sengsara menjalani hidup ini. Uang yang dihasilkan tidak memberi kebahagiaan. Pekerjaan yang dilakukan tidak memberi kepuasan. Dia hanya akan hidup untuk bekerja, bekerja dan bekerja! Orang bijak mengatakan: “Pilihlah pekerjaan yang kamu suka, maka seumur hidup kamu tidak perlu bekerja”. Jadi yang paling penting adalah minat pada bidang pekerjaan.
2. Pendidikan
Tiada profesi tanpa pendidikan, entah formal ataupun non formal. Untuk beberapa jenius diantara kita mungkin ada yang bangga dengan cara “auto-didak”nya dan bisa saja dia berhasil dalam bidangnya., tetapi ini adalah anomaly dalam hidup. Kalau seorang pengusaha yang kaya raya pernah menjalani hidup susah dengan menyemir sepatu distasiun kereta api misalnya, itu bukan formula yang dapat diikuti semua orang. Bagi kebanyakan orang seperti kita-kita ini, pendidikan adalah sesuatu yang harus dijalani sebelum siap terjun kedunia profesi yang keras. Seorang Bill Gates sudah cukup mewakili seluruh dunia sebagai orang kaya yang pernah d.o. dari sekolah (tetapi kembali dan lulus setelah 30 tahun kemudian!), jadi jangan ada lagi diantara kita yang ikut-ikutan d.o. dari sekolah hanya karena ingin meniru kesuksesan Bill Gates!
3. Spesialisasi
Pada masa pendidikan, kita dibekali bermacam-macam ilmu, ada yang penting dan ada yang kita rasa kurang penting. Tetapi semua itu adalah bekal hidup dikemudian hari. Baru-baru ini ada seorang kawan menceritakan pada saya bahwa ia bercita-cita ingin menjadi fotografer fashion top dunia. Tapi yang didapatnya selama ini hanya motret manten (wedding photography)! Saya katakan motret manten adalah realitas hidup dan juga bagian dari dunia fotografi professional. Apa lagi “foto mantenan engga ada matinya”! Apa salahnya mengerjakan wedding photography untuk mengumpulkan modal sambil mempersiapkan portfolio fashion yang lebih diminatinya? Dalam hal ini memotret wedding akan menjadi bagian dari pendidikannya.
4. Portfolio
Portfolio adalah kumpulan hasil karya kita dalam bidang tertentu (fotografi dalam hal ini) yang menunjukkan keahlian atau keunikan kita. Sebaiknya portfolio berisi foto-foto yang kita sukai dan bukan karena suatu gaya sedang “ngetrend”. Kata kunci disini adalah “suka” atau minat seperti disebutkan diatas. Portfolio menunjukkan jati diri kita, ciri pemotretan dan lighting kita, gaya kita yang hendak kita jual. Seorang art-director yang bertugas memilih fotografer akan lebih senang melihat portfolio yang lain dari yang lain tetapi memiliki mutu baik, daripada hanya pengulangan apa yang pernah dibuat orang lain. Spesialisasi adalah hal yang mutlak dimiliki daripada menawarkan gado-gado dengan menu “Yes I can” (wah, jadi mirip moto presiden AS yang baru terpilih ya!). Ini untuk memudahkan pihak calon pembeli untuk mengetahui ‘menu’ kita disamping dari pihak kita sendiri siap dengan perlengkapan yang sesuai bidang pemotretan kita. (Perlengkapan studio still-life tidak sama dengan alat-alat yang dipakai untuk pemotretan arsitektur misalnya).
5. Promosi
Sekarang banyak cara untuk berpromosi, misalnya dengan membuat website, kartu nama, kartu promosi diri (self promotional print) atau brochure cetakan yang dapat dikirimkan pada calon klien ataupun dengan memasang iklan pada halaman kuning (yellow pages) atau akhir-akhir ini pada situs-situs fotografi lainnya.

Nah, setelah semua tahapan diatas dilalui dimulailah tahapan selanjutnya yang maha penting: “Berapa biayanya untuk shoot ini?” tanya klien sambil menunjukkan lay-outnya.
Terus terang ini juga adalah pengalaman pertama saya yang tidak pernah saya lupakan. Saya yang pada waktu itu baru menyelesaikan pendidikan fotografi dan memiliki portfolio “yang lumayan” (menurut saya tentunya!), sangat-sangat-bingung atas pertanyaan ini. Ternyata klien tidak berminat melihat portfolio saya lebih lanjut, tetapi langsung pada “inti permasalahannya”, yaitu harga!
Saya tidak ingat lagi apa jawaban saya pada saat itu, tetapi itu menjadi pengalaman yang sangat berharga yang akan saya share kan disini. Pada waktu itu komunikasi tidak selancar seperti sekarang dengan internet dan wi-fi. Telpon pun kadang-kadang nyambung kadang-kadang tidak! Fotografer professional masih langka dan para seniorpun masih menutup diri untuk hal-hal tertentu.
Ketika saya dengan segala kerendahan hati dan dengan ragu-ragu bertanya kepada seorang fotografer senior apa kiat-kiatnya, jawaban yang saya terima adalah:
“Percuma, jangan jadi fotografer! Jadi fotografer engga bisa kaya!”.
Disaat saya sedang menggebu-gebu ingin menjadi fotogafer “hebat”, mendapat pesan seperti ini! “Wah, celaka nih, salah jurusan!” Pikir saya. Tapi karena saya memang sudah ‘suka’ motret, ya sudah jalankan saja.
Nasib baik kemudian berpihak pada saya karena waktu itu kebetulan saya kenal seorang fotografer professional lain yang berbesar hati dan mau memberi pengarahan pada saya. Katanya: “Kalau untuk job seperti ini saya biasanya akan men-charge sekian-sekian. Kamu kan baru, memang mutu tidak kalah, tapi sebagai pemula kurangi sedikitlah”.
Nah berdasarkan pengarahan tersebut saya dapat memulai ‘petualangan’ dalam dunia fotografi dan dalam beberapa tahun berikutnya banyak klien yang bersedia membayar jasa saya lebih tinggi daripada senior saya pada waktu itu.
Ternyata kata-kata sang senior fotografer terdahulu terbukti benar, sampai sekarangpun saya ‘belum’ kaya! ( Tetapi saya tetap happy, karena prinsip hidup saya kan happiness oriented bukan profit oriented! Haha!). Pesan negatif juga menjadi pemacu semangat saya.

Jadi yang penting dalam hal ini soal berapa menjadi tidak penting dibandingkan dengan adanya kesempatan masuk kedunia professional! Yang penting adalah kita sudah siap secara mental untuk menggeluti bidang pilihan kita. siap mental juga berarti tidak cepat putus asa jika sedang R.O. (rindu order)! Yang juga tidak boleh dilupakan adalah “professional attitude”: Deliver quality on time! Harga boleh nego, mutu tidak! Kalau kita selalu mempertahankan professional attitude ini, pekerjaan akan datang dengan sendirinya.
Akhirnya, dalam membangun karir diperlukan 10 tahun pertama untuk membangun nama, 10 tahun kedua untuk mengumpulkan uang dan 10 tahun ketiga menikmati hasil pekerjaan kita. Semoga demikian.

Kayus Mulia, fotografer.
BSD City, Tahun Baru Imlek 2560

(Terimakasih kepada rekan fotografer Lee Japp dan Rudy Sugiharto dan Bapak RTS Masli dari PPPI yang banyak membantu saya menjadi seorang fotografer 23 tahun yang lalu.)

Diambil dari Facebook Notes Kayus Mulia

Leave a Reply