Tata Krama Dalam Fotografi

“Kebenaran tidak selalu sama dengan keputusan mayoritas dan minoritas bisa saja benar”. (Paus Johanes Paulus II)

Kita semua mengetahui dan menyadari terutama dinegara kita ini, bahwa kalau menyangkut (pelanggaran) hukum, tidak ada yang dapat mengalahkan ‘masa’. Mulai dari masa pada pertandingan sepak bola dengan boneknya yang menjarah dan melukai orang lain, masa pengendara sepeda motor yang melawan arah dan membahayakan pengendara lain, masa pedagang yang memasang dagangannya dibadan jalan dan mengambil hak orang lain, masa dengan mengenakan pakaian tertentu yang merusak bangunan dan harta milik orang lain dan sebagainya dan seterusnya. Semua tata krama, undang-undang dan hukum yang sudah dibuat dengan susah payah untuk menciptakan tatanan masyarakat yang baik yang notabene menghabiskan banyak waktu dan biaya tidak berdaya bila sudah menghadapi perlawanan masa. Tindakan semau gue dengan mengandalkan masa yang kita kenal dengan istilah anarki.

Anarki sudah dikenal manusia sejak dahulu kala, bahkan sebuah kejadian anarki dimana seorang manusia yang tak bersalah menjadi korban keberingasan masa hingga menemui ajalnya secara sangat hina yang terjadi pada 2000 tahun silam diperingati setiap tahun oleh kelompok masyarakat tertentu diseluruh dunia.

Masa memang tidak memilih kurbannya, dalam banyak kejadian darah ditumpahkan dan nyawa dihilangkan.
Itu adalah kenyataan dan kita (rasanya) tidak dapat berbuat apa-apa.

Tapi kita tidak ingin masuk kedalam dunia politik, melainkan tetap dalam dunia fotografi kita. Jadi apa hubungan antara anarki dengan fotografi? Adakah anarki dalam dunia fotografi?
Kita mengenal tindakan anarki yang melibatkan fotografer hingga mengambil nyawa seorang putri kerajaan (Inggris) diabad lampau. Peristiwa kematian inipun diperingati orang dari tahun ketahun. Masa yang menganggap dirinya diatas hukum, hanya dengan memakai pakaian tertentu dalam hal ini perlengkapan fotografer, dapat bertindak semau gue hingga menghilangkan nyawa orang. Apakah tindakan ini tidak sama dengan kejadian 2000 tahun lampau?

Dapatkah fotografer bertindak anarki terhadap fotografer sesamanya? Kita mengenal istilah homo homini lupus. Manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Dalam liputan teve kita dapat melihat gerombolan masa dengan perlengkapan fotografi saling berebut, saling sikut, saling dorong mendorong untuk mendapatkan sesuatu yang tidak boleh dimiliki orang lain. Gambaran serupa juga akan terlihat bila kita membuka saluran Animal Planet yang menunjukkan sekelompok binatang spesis tertentu saling berebut melahap korbannya.
Kok fotografer disamakan dengan binatang? Yang benar saja donk!

Tindakan anarki ini herannya selalu diperkenalkan pada beberapa acara fotografi bahkan diajarkan pula secara resmi oleh lembaga pendidikan fotografi tertentu. Kita melihat masa fotografer yang memperebutkan korban yang sengaja diumpankan oleh panitia dalam bentuk wanita cantik dengan atau tanpa busana. Entah apa maksudnya, saya sendiri tidak pernah mengerti walaupun saya sudah 30 tahun menggeluti dunia fotografi!

Kalau kita memperhatikan acara semacam ini, maka tampak bahwa panitia akan duduk disuatu sudut tertawa-tawa sambil menghitung pemasukan yang masuk kekoceknya. Apakah cara itu mendidik anak-anak muda menjadi fotografer handal? Saya lebih melihat itu sebagai jalan menjadi ‘masturbator unggul’, memuaskan diri sendiri secara instan tanpa menghasilkan apa-apa.

Tanyakan pada para peserta setelah mengikuti acara semacam ini, apakah mereka merasa menjadi lebih pandai memotret, lebih mengerti bagaimana mengatur pose, menentukan cahaya dan pencahayaan, menentukan ratio, cara meletakkan lampu disini dan bukan disitu? Kalau jawabannya hanya: “Cape, tapi puas walaupun tidak mengerti atau tidak bertambah pandai”, kok rasanya seperti membaca artikel Dr.Boyke? (http://www.solusisehat.net/index2.php)
Belum lagi foto narsis dengan lensa panjang yang menggambarkan symbol lingam atau phallus (http://www.merriam-webster.com/dictionary/phallus) pada masyarakat purba, lengkap sudah penggambaran seorang fotografer!

Tidak mengajarkan hal yang penting seperti tata krama dalam dunia fotografi adalah salah satu penyebabnya. Dengan menggunakan pakaian tertentu (dalam hal ini perlengkapan fotografi) kita (seolah-olah) diberi kebebasan melakukan apa saja walaupun merugikan orang lain, tanpa merasa salah. (Bonek mana ada yang merasa salah sih?)

Baru kemarin seorang kawan menceritakan pengalamannya menjadi korban ‘bonek’ foto:
Suatu saat dia sedang melakukan pemotretan komersil, dengan objek beberapa orang model dengan busana tertentu disekitar Museum Fatahilah, Jakarta kota.

Kita mengetahui bahwa sebelum sampai pada saat pemotretan dilokasi, banyak hal yang harus dipersiapkan, mulai dari permohonan ijin lokasi, perlengkapan pemotretan, asisten, kamera, lampu, baju yang akan difoto dsb dst. Jadi cukup membutuhkan persiapan dan konsentrasi tinggi sebenarnya.

Pada saat dia sedang melakukan pemotretan, tiba-tiba sekelompok masa (mengenakan pakaian tertentu dalam kejadian ini perlengkapan kamera!)
mendatangi lokasi pemotretan, mengelilingi kawan kita tadi dari belakang dan tanpa ‘ba-bi-bu’ langsung ‘menembakkan senjatanya’ kearah sang model!

Setelah ditanyakan rupanya mereka adalah murid-murid dari sebuah sekolah foto tertentu yang sedang berburu objek foto disekitar tempat itu. Ternyata mereka tidak sendiri, melainkan disertai sang pimpinan sekolah yang adalah fotografer senior yang cukup terkenal berserta kawannya juga seorang fotografer senior juga sebagai pembina dan mereka mendiamkan saja murid-muridnya bertindak secara anarki (gaya bonek). Rupanya mereka (murid-murid itu) melihat kesempatan mendapatkan model gratisan dan menganggap mereka sah-sah saja ikut memotret rame-rame seperti kebiasaan mereka selama ini!

Saya tanyakan kawan kita itu, mengapa tidak diusir saja? Dijawab: “Habis, mereka rame-rame sih, bosnya juga tidak mengarahkan apa-apa.” Sebagai fotografer muda, dia tidak dapat berbuat apa-apa.
Masa memang tidak dapat dilawan.
Saya hanya dapat menghiburnya dengan mengatakan: “Yah, semua kan ada hikmahnya”, walaupun saat mengatakan itu saya tidak tahu hikmah apa yang bisa didapat dari kejadian tersebut.
Semoga kita tidak menjadi bagian dari bonek foto!

Selamat Paskah! Tuhan memberkati.

BSD City, Minggu Paskah, 4 April 2010
Kayus Mulia, pengajar pada Arno Mulia Photography Workshops.

Diambil dari Facebook Notes Kayus Mulia

Leave a Reply