Memotret Tanpa Kamera?

“A photographer’s main instrument is his eye”
(Manuel Alvarez Bravo, fotografer Mexico)

Sebagai penggemar fotografi, kita bereuforia dengan istilah megapixel, noise, grain, ‘oldig’, ‘di-ai’, histogram, Canon vs Nikon dan lain sebagainya.

Memang semua itu penting sebagai alat bantu untuk mecapai tujuan kita, yaitu ‘imej’ (image), tapi yang paling penting adalah apa yang hendak kita capai atau ciptakan dengan semua pengetahuan (plus peralatan) kita.

Apakah kita ingin mencari kepuasan diri sendiri dan terjangkit sindrom “Punyaku lebih besar dari punyamu”?

Banyak dari kita yang berhenti hanya setelah mencapai kepuasan diri sendiri dengan “mengalahkan semua musuh-musuh” (dalam hal ini kawan-kawan yang hunting foto bersama) kita dengan memiliki yang terbesar (megapixel) yang terpanjang (lensa) dan lain sebagainya.

Sebaliknya banyak pula diantara kita yang menjadi ‘minder’ ketika mengeluarkan alatnya sendiri didepan ‘musuh-musuhnya’ (“Kok saya punya lebih kecil ya, jangan-jangan tidak bisa memberikan kepuasan nih…”).
Untuk yang merasa masuk golongan terakhir ini, saya hanya dapat mengatakan: “Jangan takut!” (Kalimat pendek ini telah terbukti dapat meruntuhkan negara komunis terbesar Rusia lho!).

Saya tidak pernah mengikuti trend atau adu besar alat pada saat hunting foto bareng dengan kawan-kawan. Ketika kawan-kawan pergi dengan menggunakan kamera digital yang mutakhir, saya malah membawa kamera analog yang teknologinya sudah berusia 150 tahun! Ketika kawan-kawan mengunakan lensa zoom yang panjang-panjang, saya hanya membawa satu lensa standard saja. (Tapi kalau di studio ya ceritanya lain lagi dong!)

Saya hanya ingin mengatakan di sini bahwa kamera apapun adalah baik dan tidak ada yang ‘ter’baik. Selama kamera yang kita pakai sudah cukup memenuhi tugasnya untuk saat itu, maka kamera itu adalah yang terbaik, untuk saat itu! Kamera compact dengan 6Mp yang ada pada saat dibutuhkan lebih berarti daripada kamera dslr dengan 21Mp paling canggih dengan lima lensanya yang tertinggal dirumah!

Kembali pada tema kita semula, yang terpenting dalam sebuah foto adalah isinya (content). Sebaik apapun kamera apapun yang kita gunakan dan secanggih apapun teknik maupun ‘di-ai’ yang digunakan, jika isi foto tidak menggugah, foto itu tidak berarti apa-apa!

Ansel Adams mengatakan: “There is nothing worse than a sharp photography of a fuzzy idea” . (Tidak ada yang lebih buruk daripada sebuah foto yang tajam tanpa isi yang berarti).

Ini membawa kita pada pertanyaan, apakah foto yang baik dan bagaimanakah membuat foto yang baik?
Sebuah kamera hanya akan memberikan gambar dari segala sesuatu yang kita arahkan kepadanya. Belum ada kamera yang mempunyai mode “auto-good-image-content”. Apapun yang para produsen kamera ingin membuat kita percaya, sebuah kamera hanyalah sebuah alat, tidak lebih seperti mesin tik atau kompor. Pada seorang penulis yang berhasil tidak pernah ditanyakan: “Tulisan anda bagus sekali, mesin tik apa yang anda gunakan?” atau jika kita dijamu makan, kita tidak mengatakan pada nyonya rumah: ” Masakanmu enak sekali, kompormu merk apa ya?”.

Herannya, ya herannya! Dunia fotografi adalah anomali atau keanehan dalam hidup! Melihat sebuah foto yang menurut kita bagus, kita selalu bertanya: “Foto itu bagus sekali, kamera apa yang dipakai?”. Bayangkan kita menanyakan dokter yang memeriksa kita: “Dok, stethoscope-nya merk apa ya?”.

Fotografer dikenal sebagai pengamat ulung. Hal-hal yang untuk orang lain dianggap biasa mendapat perhatian yang mendetil oleh seorang fotografer. Ini dapat kita perhatikan jika kita baru tiba di tempat asing bersama-sama orang lain. Hal yang terutama akan menarik perhatian seorang fotografer adalah betapa warna langit berbeda dengan langit di tempat dia datang. Tapi bagi orang lain “Apa sih bedanya?”. Mungkin kita semua pernah mengalami hal yang demikian.

Walaupun tidak sedang membawa kamera, seorang fotografer akan terus ‘memotret’ keadaan sekelilingnya dengan mata dan pikiran hal-hal yang bagi orang lain tidak terlalu penting tetapi menarik perhatiannya.
Kita pernah mendengar istilah “memotret dengan hati” dan istilah ini tepat sekali. Tanpa hati, hal-hal yang kita abadikan hanyalah pengulangan hal-hal yang sudah pernah kita lihat sebelumnya dan hanya untuk memuaskan hati orang lain.

Lakukanlah pemotretan dengan hati, belajarlah untuk mendengarkan suara hati kita. Jangan memotret hanya untuk memuaskan hati orang lain saja (kecuali menjadi fotografer komersil yang harus mengikuti kemauan klien). Belajar mengamati sekeliling kita. Perhatikan cahaya dan pencahayaan sekeliling kita.

Pada saat duduk direstoran, pernahkah kita secara sadar memilih tempat duduk yang menghadap kearah cahaya atau malah membelakangi cahaya? Setelah duduk, apakah kita mengamati jatuhnya cahaya pada wajah teman makan kita? Jika kita duduk menghadap cahaya, apakah kita memikirkan bagaimana bila kita harus memotret kawan kita yang duduk didepan kita dalam kondisi back-light?

Pada saat ‘dugem’ didalam sebuah diskotek, apakah kita memperhatikan pencahayaan sekeliling kita, cahaya yang jatuh pada pengunjung lain? Bagaimana efek cahaya yang dibiasakan oleh gelas minuman kita pada alas meja? Dapatkan kita buat dalam studio?
Ataukah kita hanya mengamati para gadis cantik dan cowok keren dan mengira-ngira berapa ukurannya?

Sebagai fotografer kita mempunyai kelebihan pengamatan dibandingkan orang lain. Gunakanlah kelebihan ini dalam berkarya!
Memiliki kamera paling canggih tidak akan menghasilkan apa-apa bila kita tidak melatih mata kita untuk melihat hal-hal yang menggerakkan hati kita. Jika mata tidak peka terhadap cahaya, belajarlah bagaimana dapat melihat cahaya dan menguasai pencahayaan.

Jika kita ingin menggunakan fotografi sebagai alat untuk mencari uang, belajarlah menciptakan gambar yang menarik orang untuk membelinya. Gunakan cahaya dan pencahayan yang telah kita amati diluar dan ciptakanlah didalam situasi yang terkontrol seperti didalam studio.

Banyak orang tidak percaya jika saya ceritakan bahwa kami mengajarkan fotografi tanpa kamera! Terbukti dari kemampuan lulusan kami yang maju sangat pesat setelah mempelajari cara melihat dan menguasai cahaya dan pencahayaan hanya dalam waktu singkat.

Salam fotografi!

BSD City, 27 Maret 2009
Kayus Mulia,
Pengajar Arno Mulia School of Advanced Photography

Diambil dari Facebook Notes Kayus Mulia

Leave a Reply