Kemarin pada saat sedang mengikuti dan mengawasi pemotretan distudio saya, pengarah seni (art director) berkata kepada saya: “Saya ingin belajar foto nih”. Saya melihat bahwa dia membawa DSLR dengan sekian puluh Mp (Megapixel).
Art director tersebut sangat ahli dalam olah digital (sekarang banyak art director muda yang sangat mengerti olah digital tetapi sayangnya kurang mengerti fotografi.) bertanya pada saya: “Pada pemotretan orang diluar, bagaimana mendapatkan hasil yang baik, karena jika saya meng-exposed untuk wajah, bajunya akan “terlalu putih” dan kalau saya ukur untuk bajunya, maka mukanya akan jadi “terlalu gelap”.
“Gunakan saja matrix.” saya katakan.
“Apa itu matrix?”
“Kamu punya kamera canggih, sudah baca manualnya belum?”.
“Belum”.
“Baca dulu dong manualnya, baru bertanya lagi.” saya katakan padanya.
“Kalau mau belajar foto dimana pak?”
Maka saya menyebut beberapa tempat yang menawarkan kursus fotografi di Jakarta termasuk satu yang didaerah Kemang yang menawarkan cara melihat secara fotografis dan cara pencahayaan yang tepat.
“Tapi saya tidak mau kursus yang seperti itu pak, kelamaan. Saya maunya yang pendek-pendek saja”.
“Oh, macam seminar sehari begitu?”
“Iya pak.”
Ini adalah gejala umum ditanah air. Segala maunya serba instan. Tidak mau repot istilahnya. Kalau belajar fotografi, yah ikutan seminar-seminar sehari saja dengan model-model cantik berikut makan siang dan pada sore hari pulang dengan mengantongi “sertifikat” yang dapat ditempel distudio. Bermodalkan kamera megapixel dan beberapa sertifikat sudah mengaku professional!
Pada giliran mengerjakan ‘orderan’ pertama, asal motret dan hasilnya di “di-ai” (d.i.: digital imaging, olah digital). Jadi kenapa tidak belajar ‘di-ai’ saja?
Kita kembali kelingkaran setan semula, mau jago tapi engga mau belajar!
Saya tidak tahu, lebih cepat mana, belajar fotografi ataukah belajar ‘di-ai’, karena setiap kali saya mau belajar PS, saya tertidur didepan monitor! Rupanya d.i. bukan untuk saya!
“Serahkan pada ahlinya.”. Itulah moto saya. Jangan meremehkan pekerjaan orang lain, entah itu digital imaging, akupunktur, bermain gitar atau menggali lubang (Pernahkah anda mencoba menggali lubang? Dan rata? Dalam waktu singkat? Nah, anda mengerti apa maksud saya.)
Untuk dapat menjadi ahli dalam suatu hal, harus melalui tahap pengenalan, pembelajaran, praktek terus menerus dan kalau merasa terpanggil untuk menjadikan sebagai andalan hidup dapat membuatnya sebagai sebuah seni. (Bruce Lee: “Seni adalah teknik dasar yang diulang terus menerus”.)
Tidak ada keahlian yang didapat dalam waktu singkat. Tidak ada potong jalan. Tidak juga digital imaging dengan computer super cepat.
Semua membutuhkan waktu untuk menjadi ahli. Untuk ‘sekedar bisa’, memang tidak perlu belajar berlama-lama. Tapi orang yang sekedar bisa tidak dapat disebut professional dan bukan professional tidak mendapat “orderan” berulang.
“Be a professional.” Itu yang selalu saya sampaikan pada kaum muda.
Motto yang kedua adalah: “Be a perfectionist.”
Jangan pernah berkompromi dalam hal hasil akhir. Jangan menyerahkan hasil yang kita sendiri merasa kurang puas kepada klien. Tuntaskan hingga mencapai hasil yang memuaskan kita sendiri, baru menyerahkan pada klien.
Jangan yang terbesar adalah memikir demikian: “Ah, kliennya sudah puas, untuk apa diteruskan lagi? Begini saja sudah cukup kok.”
Jangan lupa bahwa karya kita bukan hanya dilihat oleh klien kita, tapi oleh seluruh dunia. Maukah kita menunjukkan ketidak sempurnaan kita pada dunia? “Apa kata dunia?” (Melly ft Dedi Mizwar dlm Nagabonar)
Lalu saya lanjutkan lagi: “Yang penting kalau mau belajar sesuatu, entah fotografi entah kungfu entah gitar, harus cari guru yang ahli dan yang bisa mengajar, kalau tidak percuma dan buang waktu saja””
“Tahunya gurunya jago bagaimana?”
Saya katakan: ” Guru yang jago adalah yang karyanya hebat dan yang penting bisa ngajar”.
“Bagaimana saya tahu, gurunya bisa ngajar atau tidak?”.
Jawab saya: “Tanya saja: ‘Kenapa?’. Kenapa lampu ini diletakkan disini? Kenapa pukulan harus datang dari sudut tertentu? Kenapa nada A mayor harus begitu?”.
Guru yang baik akan dapat menjawab dan menerangkan sehingga sang murid mengerti sedang guru yang hanya jago saja akan menceritakan bahwa itu kebiasaannya dan tidak tahu kenapa dia meletakkan sebuah lampu pada tempat yang ditentukan misalnya. Atau mengarahkan tinjunya dari sudut tersebut dan seterusnya “Pokoknya saya selalu melakukan begitu dan hasilnya baik toh?”
Saya tidak tahu apa sang art director mencari dan menemukan guru yang dapat mengajar fotografi padanya karena sesi pemotretan kami sudah berakhir dan dia sudah kembali membawa file yang saya berikan untuk di “di-ai”.
Kayus Mulia, fotografer.
BSD City, 30 Juli 2008
Diambil dari Facebook Notes Kayus Mulia