Ikutilah acara ‘hunting foto bareng’ yang sering diadakan perkumpulan maupun anggota milis fotografi yang banyak tumbuh disekitar kita.
Maka akan terlihat para peserta yang berlomba-lomba mempertunjukkan kamera beserta lensa unggulannya masing-masing. Tas kamerapun sepertinya tidak pernah cukup besar untuk membawa seluruh peralatan ‘hunting’ fotonya.
Tidak cukup sampai disitu saja, merekapun berlomba-lomba saling mengunggulkan merk dan jenis kamera yang dipakai sambil memandang rendah ‘kamera lawan’ yang notabene keluaran enam bulan yang lalu (kuno!).
Bahkan ada istilah ‘agama’ (bukan istilah saya) dimana dinegara kita Canon dan Nikon adalah dua ‘agama’ yang paling banyak ‘penganut’nya yang kadang-kadang membuat penganut agama lain menjadi ‘minder’ (ah, saya ‘hanya’ menggunakan Olympus atau Pentax dll). Disini SARA dipersilakan! Silakan cela ‘agama’ lawan! (‘Agama’ mu payah, mirrornya sering lepas”). Yang dicela akan dengan cepat membela diri dan kembali melakukan ‘serangan’ yang tidak kalah pedasnya (‘agama’mu soft warenya payah)! Saling serang dengan jurus andalannya masing-masing bagaikan dalam film cerita silat!
Untungnya dalam dunia fotografi saling serang masih dalam batas-batas saling ‘ngenyek’ persahabatan dan biasanya diakhiri dengan makan-makan bersama!
Viva photografika!
Kembali kepada pokok pembicaraan kita.
Selalu ingin memiliki kamera model paling mutakhir dengan Mp yang paling tinggi, bahkan lebih, rasanya akan memberikan pemiliknya rasa ‘pede’ yang gede!
10Mp sudah tidak cukup rasanya, 12Mp bahkan 25Mp pun sudah dapat dimiliki sekarang. Mungkin beberapa tahun lagi akan lebih lagi, walahualam!
Pertanyaannya: Apakah kamera dengan Mp tinggi yang kita miliki sesuai dengan keperluan fotografi kita? Ataukah hanya karena ingin memenuhi keinginan sesaat? (kita mengenal seorang kawan yang selalu mengup-grade kameranya 3 bulan sekali!).
Pertanyaan berikut: Bila kita melihat foto di internet atau kebetulan di’tag’ di Face Book (FB) untuk menilai sebuah foto (ini trend baru FB, minta foto dikomentari, entah kerena ingin penilaian gratisan, ataukah sekedar ingin menunjukkan portfolio) pernahkah kita membaca komentar seperti: “Noisenya terlalu banyak.” Atau: “Foto ini akan lebih bagus kalau menggunakan kamera dengan pixel lebih banyak.” Lagi: “Saya ingin melihat print aslinya dalam ukuran 60x90cm baru dapat menilai.”
Rasanya tidak ada yang memberi komentar semacam itu.
Jadi apakah kesimpulannya? Bukankah Mp berpengaruh pada sedikit-banyaknya noise, terutama pada large format (istilah large format –LF- sekarang berubah dari yang sebelumnya digunakan pada large format camera / view camera menjadi hasil cetakan ukuran besar)?
Dalam kenyataannya baik tidaknya sebuah foto sama sekali tidak tergantung pada berapa besar atau banyaknya mega-pixel (Mp) dalam sensor yang digunakan, melainkan tetap pada hal-hal dasar dalam fotografi lain seperti: Lighting / pencahayaan, focus/ketajaman dan exposure disamping hal lainnya seperti komposisi, sudut pengambilan dan lain-lain.
Kenyataan lainnya adalah, diantara berjuta-juta pemilik kamera, berapa orangkah yang selalu membuat cetakan diatas 30x40cm? Bukankah kebanyakan pemilik kamera sudah cukup puas memandang hasil fotonya melalui monitor (itupun tidak dikalibrasi) yang paling banter 15”?
Memang ada orang-orang yang hobby-/ tugasnya membandingkan noise, ketajaman lensa maupun segala tetek bengek kamera satu dengan kamera lain. Orang-orang ini memotret test chart, halaman surat kabar, maupun tembok batu bata untuk melihat distorsi, tahapan noise, ketajaman lensa dan lain-lain yang notabene kebanyakan juga dapat diperbaiki setelah foto dibuat. Banyak situs yang berkecimpung dalam hal percobaan dan perbandingan (test and review), semua dapat kita lihat diinternet.
Dalam dunia nyata, siapakah yang memotret koran atau tembok bata?
Penguasaan kamera harus dipelajari. Berapa dari kita yang (dapat) mengerti dan menggunakan seluruh menu pada kamera kita?
Bila kita ingin serius dalam pengolahan file, yang perlu kita miliki adalah kamera yang dapat mengeluarkan file secara RAW. Untuk pemakaian ‘normal’, kamera apapun sudah jauh lebih baik dari kesanggupan pemakainya, bahkan kamera compact sekalipun. Kamera hape pun akhir-akhir ini sudah semakin canggih.
Penggunaan kamera secara ekstrem “sampai titik darah penghabisan” adalah pada penggunaan secara professional, terutama fotografi untuk iklan, dimana foto dibuat sedemikian rupa hingga melalui foto tersebut mutu suatu produk terwakili dan dapat memberikan informasi yang lengkap yang selanjutnya menimbulkan rasa ingin membeli product yang ditampilkan. ( Dan bukan fotonya! Ini yang membedakan commercial art dengan fine art photography).
Untuk menunjukkan bahan kulit sebagai pelapis kursi mewah, misalnya. Material tersebut haruslah difoto sedemikian rupa hingga hanya dengan melihat foto tersebut pengamat sudah dapat membayangkan seperti apa bentuk, texture, warna dan sifat-sifat kulit tersebut.
Disini perbedaan antara noise dan tidak ada noise dapat berarti perbedaan -kontrak kerja- yang bernilai ratusan juta rupiah!
Untuk itu sang fotografer haruslah memahami dan menguasai hal-hal dasar antara lain seperti white balance (untuk mendapatkan warna yang sesuai aslinya), lighting (untuk dapat mengenali texturenya) dan exposure (untuk mendapat kesan yang diinginkan).
Maka pantaslah disini kamera (disamping teknik pencahayaan) yang tercanggih yang digunakan.
Jika pada suatu saat kita memutuskan untuk mencari nafkah dengan fotografi kita, barulah kita boleh berpikir untuk meng’up-grade’ peralatan kamera kita. Sebelum itu tidak perlu rasanya.
Bagi kebanyakan dari kita yang melakukan fotografi hanya sebagai hobby, saya rasa “kamera yang biasa-biasa saja” (mis. dslr- atau compact camera dengan 10-12Mp) sudah cukup untuk membuat foto yang baik dan tidak perlu menghalangi kita untuk menjadi peserta acara hunting foto bersama.
Foto yang baik tidak tergantung pada Megapixel melainkan pada cara melihat masing-masing kita. Semoga demikian.
BSD City, 1 Desember 2009
Kayus Mulia, fotografer.
(Pengajar pada Arno Mulia Photography Workshop.)
*catatan: Tulisan ini hanya sebagai renungan untuk membedakan antara keinginan dan keperluan (want and need), dalam dunia fotografi. Penulis tidak ingin membatasi/melarang keinginan para gadget freaks yang selalu ingin memiliki alat-alat (gadget) yang terbaru yang pastinya akan berdampak positif pada perekonomian kita.
Diambil dari Facebook Notes Kayus Mulia