Saya lagi asyik muter-muter di Facebook ketika chat window saya loncat muncul. Seorang penggemar foto dari Semarang bertanya, “Kenapa sih kita selalu dinilai dari kamera kita?” Saya bilang, “Oya? Masak sih? Salah bergaul kali.” Iya, mungkin aja hobinya teman satu ini nongkrong di toko kamera, so pastilah orang-orang lebih suka nanyain soal kameranya. Atau, mungkin juga kalo hunting foto tas kameranya gede banget, jadilah suka ditanya-tanyain. Atau, jangan-jangan kameranya invisible, jadilah ditanyain juga, kameranya apa, wong temen-temennya pada bawa kamera dia bawanya Blackberry.
Anyway, tetap saja memang itu jadi pertanyaan kuno. Kameranya apa? Banyak yang beranggapan, kamera menentukan reputasi. Saya sih setuju-setuju saja. Paling enggak, reputasi pembelianlah. Dan memang mungkin sejuta rasanya kalau lagi menenteng Nikon D3 atau Canon 1Ds mk3 dengan lensa 80 mm f/1.8 L series. Atau dengan cool-nya membidik model dibalik Hasselblad H3 seharga Nissan Teana. Berhak koq, karena memang itu prestasi. Bisa jadi si pemakai adalah orang yang sukses memimpin perusahaan batubaranya sehingga enggak ngedip waktu memborong setengah isi toko JPC Kemang, ataupun sukses merayu dan meyakinkan bapaknya bahwa kamera semi-profesional enggak cukup bagus untuk mulai belajar bagaimana caranya memfokus. Sah dan meyakinkan sebagai sebuah prestasi.
Saya ingat hari-hari dimana saya diam-diam tetap memendam rasa iri pada kamera-kamera idaman sewaktu saya masih di jalur amatir. Wajarlah, boys with toys, rumput tetangga selalu lebih hijau. Saya juga sering menanyakan mereka memakai kamera apa, karena 99,9% pasti lebih bagus dari kamera pas-pasan saya. Senang aja, karena yang ditanya pasti semangat 45 menerangkan A-Z fitur kameranya, dan dengan senang hati membiarkan saya menimang-nimang sambil menempelkan muka berminyak saya disitu, jepret sana jepret sini (sering dilap kembali oleh yang punya dengan bajunya). Sejujurnya, banyak untungnya berteman dengan sosok beginian. Kesenangan mereka akan kamera akan terus menerus membuat mereka up-to-date dengan photo gear terbaru. Yang lama dikemanain dong? Dijuallah kepada orang-orang seperti saya, yang selalu merindukan kamera bekas kondisi 99% harga miring. Seneng deh temenan (foto diatas, Beach in Alkmaar, saya foto tahun 1998 di Belanda, dengan Nikon F90x bekas, kondisi 99% harga miring, dibeli dari teman saya yang baik hati).
Hingga sekarang, photo gear saya selalu dibawah ekspektasi (bukan ekspektasi saya, tapi ekspektasi klien yang hobi koleksi kamera). Lighting set saya sudah berumur 9 tahun, Hensel, dan masih setia menemani. Kamera saya Canon 5D mk2, yang banyak dipakai para amatir. Kalau tas kamera saya memang punya banyak, karena enggak semahal beli kamera. Untungnya, entah kenapa, makin hari makin jarang ada yang menanyakan saya pakai kamera apa (karena jawabannya tidak akan nendang anyway). Nah, tapi itu dia, kenapa semakin tidak ditanyakan?
Perhatikan tidak, banyak yang kameranya bagus, fotonya jelek-jelek. Disisi lain, banyak yang fotonya bagus-bagus, kameranya juga bagus. Lha? Tentu saja. Karena orang-orang yang sudah jago motret, biasanya memang sudah memutuskan untuk serius. Keseriusan mengarah pada totalitas. Semakin jago jadi semakin serius jadi semakin total. Semakin upgraded-lah kameranya. Lagi-lagi, wajar.
Mungkin yang harus dipikir lagi, kenapa kita merasa risih pada saat ditanyakan soal kamera kita, yang kebetulan, memang cukup pas-pasan? Kalaulah ternyata kita adalah juara lomba Salonfoto 10 kali berturut-turut, dan kameranya pas-pasan, bukannya bangga ternyata selalu menang dengan menggunakan barang bapuk (cieee, ngerendahin diri, ninggiin mutu. Kamera jelek aja menang, apalagi kamera bagus). Mungkin masalahnya memang di pencapaian fotografinya kita sendiri. Kalaulah memang sudah nyaman dan percaya diri, mau ditanya soal kamera, sah-sah saja, karena mungkin tidak terlalu penting lagi. Jadi siapa yang sebenarnya perlu dihakimi soal nanya-nanya kamera ini, yang ditanya atau si penanya?
Diambil dari Blog Jerry Aurum